Firman Allah SWT :
~
َHai orang-orang yang beriman, makanlah diantara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. (172) Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (173) [QS. Al-Baqarah : 172-173]
Dalam Kitab Tafsir Al-Muniir juz 1, hal. 444-447 disebutkan sebagai berikut :
~
Fiqih Kehidupan atau Hukum.
~
Allah menegaskan dalam ayat ini (QS. Al-Baqarah : 172) kebolehan memakan makanan yang baik-baik, dan mengkhususkan penyebutan orang-orang yang beriman di sini dalam rangka memuliakan dan memberi kehormatan kepada mereka. Yang dimaksud makan di sini, yaitu mengambil manfa'at dari segala seginya. Maka, boleh mengambil manfa'at semua yang berada di daratan dan di laut yang berupa tumbuh-tumbuhan, binatang, ikan-ikan dan burung-burung, kecuali apa yang diharamkan oleh Allah dalam ayat ini (Al-Baqarah : 173) dan dalam surat Al-Maaidah : 3, dan apa yang disebutkan oleh 'ulama ahli fiqh yang berpegang kepada dalil yang kuat dari sunnah Nabi SAW.
~
Dan dengan memperhatikan bahwa apa yang disebutkan pada ayat 3 surat Al-Maaidah itu termasuk dalam kategori bangkai, yaitu setiap binatang yang mati tanpa disembelih secara syar'iy, sama saja baik matinya itu karena dipukul, karena jatuh, karena ditanduk binatang lain, atau karena dimakan binatang buas sedangkan tidak didapati binatang itu masih hidup lalu disembelih. Dan demikian pula binatang yang tidak boleh dimakan, seperti binatang buas dan lainnya, walaupun disembelih, hukumnya seperti bangkai. Keumuman ayat ini dikecualikan dengan sabda Nabi SAW yang diriwayatkan oleh Imam Daraquthni sebagai berikut : Dihalalkan bagi kita memakan dua jenis bangkai, yaitu ikan dan belalang, dan (dihalalkan pula) dua darah, yaitu hati dan limpha. [HR. Daraquthni]
~
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Tsa'labah Al-Khusyaniy, bahwasanya ia berkata :
~
Rasulullah SAW melarang dari memakan binatang buas yang bertaring. [HR. Bukhari dan Muslim]
~
Imam Malik dan Abu Dawud meriwayatkan dari Abu Hurairah RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda :
Memakan segala binatang buas yang bertaring dan burung yang berkuku tajam (untuk menerkam mangsa) adalah haram. [HR. Malik dan Abu Dawud]
Dan diriwayatkan dari Jabir bin 'Abdullah, bahwasanya ia berkata :
Rasulullah SAW pada perang Khaibar melarang dari memakan daging keledai jinak, dan beliau mengizinkan memakan daging kuda. [Tafsir Al-Muniir juz 1, hal. 444]
'~
Pendapat ulama ahli fiqh tentang binatang yang boleh dimakan, secara ringkas sebagai berikut :
~
Mereka berkata, "Binatang-binatang yang ada hubungannya dengan sembelihan atau sembelihan secara syar'iy ada 3 macam : yaitu binatang air, binatang darat, dan binatang amphibi (binatang yang bisa hidup di darat dan di air).
~
Adapun binatang air, yaitu binatang yang tidak bisa hidup melainkan di air saja, tentang hal ini ada 2 pendapat, yaitu :
~
Pertama : Menurut pendapat ulama madzhab Hanafiy, semua binatang yang hidup di air adalah haram dimakan, kecuali ikan. Dan ikan halal dimakan tanpa disembelih, kecuali ikan yang terapung di air. Jika ikan itu mati dan terapung di air, maka tidak boleh dimakan, berdasarkan hadits dla'if dari Jabir yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan Ibnu Majah sebagai berikut :
~
Apa yang diberikan oleh laut atau disembelihkannya, makanlah. Sedangkan apa yang mati padanya dan mengapung, janganlah kalian memakannya. [HR. Abu Dawud dan Ibu Majah]
~
Kedua : Pendapat jumhur 'ulama selain madzhab Hanafiy, semua binatang air, seperti ikan, kepiting, ular air, anjing laut, babi laut, adalah halal, boleh dimakan walaupun tidak disembelih, baik matinya itu karena mati sendiri, maupun mati karena sebab yang dhahir seperti terhantam batu, atau dipukul oleh pencari ikan, atau mati karena kehabisan air, baik binatang air itu keadaannya tenggelam maupun terapung, mengambilnya merupakan penyembelihannya. Tetapi jika binatang air yang terapung tadi sudah membengkak (membusuk) dan kalau dimakan akan menyebabkan sakit, maka menjadi haram, karena adanya bahaya tersebut. Hanya saja Imam Malik menganggap bahwa babi laut itu makruh, ia berkata, "Kalian menamakannya babi". Ibnu Qasim (muridnya Imam Malik) berkata, "Dan saya menjauhinya (tidak makan babi laut), tetapi tidak menganggapnya haram".
~
Adapun binatang darat, yaitu binatang yang tidak bisa hidup melainkan di darat, hal ini ada tiga macam :
~
Pertama : Binatang yang tidak punya darah, seperti belalang, lalat, semut, tawon, cacing, kumbang (wangwung), jangkrik, kalajengking dan binatang-binatang yang berbisa dan yang semisalnya, maka binatang-binatang tersebut tidak boleh dimakan, kecuali belalang (boleh dimakan), karena semuanya itu termasuk "al-khobaaits ghoirul mustathoobah" (buruk, tidak baik), karena pemikiran yang sehat akan menjauhinya.
~
Dan Allah Ta'aalaa berfirman : "Dan Allah mengharamkan kepada mereka yang buruk-buruk". [QS. Al-A'raaf : 157]
~
'Ulama madzhab Malikiy mensyaratkan halalnya belalang itu harus disembelih. Adapun belalang yang mati (menurut mereka) adalah haram, karena hadits yang mengatakan "uhillat lanaa maitataani" (dihalalkan bagi kita memakan dua jenis bangkai) itu dla'if.
~
Adapun para ulama‟ Madzhab Hanafiy yang tidak membolehkan pengkhususan Al-Qur'an dengan As-Sunnah, mereka mengatakan : Sesungguhnya yang mengkhususkan bangkai ikan yaitu firman Allah Ta‟aalaa : Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan. [QS. Al-Maaidah : 96]
~
Adapun yang dimaksud “shoiduhu” (buruan laut), yaitu yang diambil dengan obat.
Adapun yang dimaksud “tho‟aamuhu” (makanan laut) yaitu binatang laut yang didapati terapung atau yang telah disembelih oleh laut. Namun mereka tidak membolehkan memakan binatang laut yang telah mati terapung sebagaimana keterangan terdahulu.
~
Kedua : Binatang yang tidak punya darah mengalir, seperti ular, tokek dan semua binatang-binatang tanah dan serangga-serangga tanah, berupa tikus, kutu (yang terdapat pada onta), landak, yarbu‟ (sejenis tikus) dan biawak adalah haram memakannya karena termasuk “khobaaits”. Karena binatang-binatang tersebut beracun, dan karena Nabi SAW memerintahkan untuk membunuhnya. Para 'ulama‟ madzhab Hanafiy juga mengharamkan adl-dlobb (biawak) karena Nabi SAW melarang „Aisyah ketika bertanya kepada beliau tentang memakan biawak.
~
Jumhur ulama‟ membolehkan memakan biawak karena taqrir beliau SAW ketika ada yang memakan biawak di hadapan beliau.
~
Para ulama‟ Madzhab Syafi‟iy membolehkan memakan landak dan ibnu „arus (binatang berkaki empat seperti kucing yang sering berdiri dengan dua kakinya).
'~
Ketiga : Binatang yang punya darah mengalir, bisa juga binatang jinak maupun binatang liar. Adapun binatang jinak, diantaranya adalah binatang ternak, yaitu onta, sapi, kambing adalah halal secara ijma‟ (sepakat). Dan diharamkan memakan daging bighol dan himar (keledai), dan dihalalkan memakan daging kuda, tetapi Imam Abu Hanifah menganggapnya makruh tanzih, karena kuda dipakai untuk tunggangan dan untuk berperang. Dan yang masyhur menurut para ulama‟ Madzhab Malikiy, mereka mengharamkan memakan daging kuda. Dan diharamkan memakan binatang jinak yang termasuk binatang buas, yaitu anjing dan kucing.
~
Adapun binatang liar, menurut jumhur 'ulama‟ adalah haram, kecuali Imam Malik (beliau menganggap makruh), yaitu setiap binatang yang bertaring dari binatang buas dan setiap burung yang berkuku tajam (untuk menerkam mangsanya), karena binatang tersebut memakan bangkai yakni binatang yang mati. Menurut Imam Malik adalah makruh memakan daging binatang buas, dan menurut beliau boleh memakan binatang burung yang berkuku tajam, berdasarkan dhohir ayat :
~
Katakanlah, "Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya … . (Q.S. Al-An‟aam : 145)
~
'Ulama' yang menghalalkan sesuatu dari yang telah disebutkan tadi bersandar kepada keumuman ayat Al-Qur'an, sedangkan apa yang disebutkan di dalam hadits mengandung makna larangan makruh, atau menganggapnya gugur karena bertentangan dengan ayat Al-Qur'an.
~
Adapun 'ulama' yang mengharamkan sesuatu yang telah disebutkan tadi bersandar kepada hadits yang ada dalam hal pengharaman makanan, dan hadits itu menasakhkan ayat Al-Qur'an, dan ia menganggap bahwa hadits tersebut tidak bertentangan dengan ayat Al-Qur'an.
~
Adapun binatang amphibi, yaitu binatang yang bisa hidup di darat dan bisa hidup di air, seperti katak, kura-kura, kepiting, ular, buaya, anjing laut dan yang semisalnya, dalam hal ini ada 3 pendapat :
~
Pertama : Menurut para 'ulama‟ Madzhab Hanafiy dan Madzhab Syafi‟iy, tidak halal memakannya, karena binatang-binatang tersebut termasuk “al-khobaaits”, dan karena ular itu berbisa, dan karena Nabi SAW menurut hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Abu Dawud, melarang dari membunuh katak, seandainya katak itu halal dimakan, tentu Nabi SAW tidak melarang membunuhnya.
~
Kedua : Para 'ulama‟ Madzhab Malikiy, membolehkan memakan katak dan semisalnya dari binatang-binatang yang tersebut tadi, karena tidak ada nash (Al-Qur'an) yang mengharamkannya.
~
Ketiga : Menurut para 'ulama‟ Madzhab Hanbaliy, penjelasannya sebagai berikut : Setiap binatang laut yang bisa hidup di darat adalah tidak halal kalau tidak disembelih, seperti burung laut, kura-kura dan anjing laut, kecuali binatang yang tidak punya darah (mengalir), seperti kepiting, maka kepiting itu boleh dimakan tanpa disembelih, menurut apa yang diriwayatkan dari Imam Ahmad, karena kepiting itu adalah binatang laut yang bisa hidup di darat dan tidak punya darah yang mengalir. Berbeda dengan binatang amphibi yang mempunyai darah mengalir, seperti burung, yang demikian ini tidak boleh dimakan tanpa disembelih. Dan yang lebih shahih menurut 'ulama‟ Madzhab Hanbaliy, bahwasanya kepiting itu tidak halal kecuali dengan disembelih. Dan tidak dibolehkan memakan katak, karena menurut hadits yang diriwayatkan Imam Nasaai, Nabi SAW melarang dari membunuhnya, maka yang demikian itu menunjukkan haramnya memakan katak. Dan juga tidak dibolehkan memakan daging buaya. (Diambil dari Tafsir AlMuniir oleh Al-Ustadz Dr. Wahbah Az-Zuhailiy, hal. 444-447)
~
Demikianlah tentang tikus dan katak, para 'ulama berbeda-beda pendapat dalam masalah tersebut. Perbedaan pendapat adalah suatu hal yang biasa, yang penting dan yang harus kita perhatikan, perbedaan pendapat tersebut jangan sampai menjadikan kaum muslimin saling mencela dan menyebabkan putus shilaturrahim. Tetapi kalau terjadi perbedaan pendapat, hendaklah kita bisa saling memahami dan menghormati.
~
Walloohu a’lam.
~oO[ @ ]Oo~
Komentar
Posting Komentar